Malu adalah akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan
keanggunan yang ada padanya. Inilah akhlak terpuji yang ada pada diri
seorang lelaki dan fitrah yang mengkarakter pada diri setiap wanita.
Sehingga, sangat tidak masuk akal jika ada wanita yang tidak ada rasa
malu sedikitpun dalam dirinya. Rasa manis seorang wanita salah satunya
adalah buah dari adanya sifat malu dalam dirinya.
Apa sih sifat malu itu? Imam Nawani dalam Riyadhush Shalihin menulis
bahwa para ulama pernah berkata, “Hakikat dari malu adalah akhlak yang
muncul dalam diri untuk meninggalkan keburukan, mencegah diri dari
kelalaian dan penyimpangan terhadap hak orang lain.”
Abu Qasim Al-Junaid mendefinisikan dengan kalimat, “Sifat malu adalah
melihat nikmat dan karunia sekaligus melihat kekurangan diri, yang
akhirnya muncul dari keduanya suasana jiwa yang disebut dengan malu
kepada Sang Pemberi Rezeki.”
Ada tiga jenis sifat malu, yaitu:
1. Malu yang bersifat fitrah. Misalnya, malu yang dialami saat
melihat gambar seronok, atau wajah yang memerah karena malu mendengar
ucapan jorok.
2. Malu yang bersumber dari iman. Misalnya, seorang muslim
menghindari berbuat maksiat karena malu atas muraqabatullah (pantauan
Allah).
3. Malu yang muncul dari dalam jiwa. Misalnya, perasaan yang menganggap tidak malu seperti telanjang di hadapan orang banyak.
Karena itu, beruntunglah orang yang punya rasa malu. Kata Ali bin Abi
Thalib, “Orang yang menjadikan sifat malu sebagai pakaiannya, niscaya
orang-orang tidak akan melihat aib dan cela pada dirinya.”
Bahkan, Rasulullah saw. menjadikan sifat malu sebagai bagian dari
cabang iman. Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Iman memiliki 70 atau 60 cabang. Paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha
illallah’, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan di
jalan. Dan sifat malu adalah cabang dari keimanan.” (HR. Muslim dalam
Kitab Iman, hadits nomor 51)
Dari hadits itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tidak akan ada
sifat malu dalam diri seseorang yang tidak beriman. Akhlak yang mulia
ini tidak akan kokoh tegak dalam jiwa orang yang tidak punya landasan
iman yang kuat kepada Allah swt. Sebab, rasa malu adalah pancaran iman.
Tentang kesejajaran sifat malu dan iman dipertegas lagi oleh
Rasulullah saw., “Malu dan iman keduanya sejajar bersama. Ketika salah
satu dari keduanya diangkat, maka yang lain pun terangkat.” (HR. Hakim
dari Ibnu Umar. Menurut Hakim, hadits ini shahih dengan dua
syarat-syarat Bukhari dan Muslim dalam Syu’ban Iman. As-Suyuthi dalam
Al-Jami’ Ash-Shagir menilai hadits ini lemah.)
Karena itu, sifat malu tidak akan mendatangkan kemudharatan. Sifat
ini membawa kebaikan bagi pemiliknya. “Al-hayaa-u laa ya’tii illa bi
khairin, sifat malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan,” begitu
kata Rasulullah saw. (HR. Bukhari dalam Kitab Adab, hadits nomor 5652)
Dengan kata lain, seseorang yang kehilangan sifat malunya yang
tersisa dalam dirinya hanyalah keburukan. Buruk dalam ucapan, buruk
dalam perangai. Tidak bisa kita bayangkan jika dari mulut seorang
muslimah meluncur kata-kata kotor lagi kasar. Bertingkah dengan
penampilan seronok dan bermuka tebal. Tentu bagi dia surga jauh. Kata
Nabi, “Malu adalah bagian dari iman, dan keimanan itu berada di surga.
Ucapan jorok berasal dari akhlak yang buruk dan akhlak yang buruk
tempatnya di neraka.” (HR. Tirmidzi dalam Ktab Birr wash Shilah, hadits
nomor 1932)
Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk menghiasi diri dengan
sifat malu. Dari mana sebenarnya energi sifat malu bisa kita miliki?
Sumber sifat malu adalah dari pengetahuan kita tentang keagungan Allah.
Sifat malu akan muncul dalam diri kita jika kita menghayati betul bahwa
Allah itu Maha Mengetahui, Allah itu Maha Melihat. Tidak ada yang bisa
kita sembunyikan dari Penglihatan Allah. Segala lintasan pikiran, niat
yang terbersit dalam hati kita, semua diketahui oleh Allah swt.
Jadi, sumber sifat malu adalah muraqabatullah. Sifat itu hadir setika
kita merasa di bawah pantauan Allah swt. Dengan kata lain, ketika kita
dalam kondisi ihsan, sifat malu ada dalam diri kita. Apa itu ihsan?
“Engkau menyembah Allah seakan melihat-Nya, jika engkau tidak
melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu,” begitu jawaban Rasulullah saw.
atas pertanyaan Jibril tentang ihsan.
Itulah sifat malu yang sesungguhnya. Sebagaimana yang sampai kepada
kita melalui Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Malulah kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.” Kami berkata,
“Ya Rasulullah, alhamdulillah, kami sesungguhnya malu.” Beliau berkata,
“Bukan itu yang aku maksud. Tetapi malu kepada Allah dengan malu yang
sesungguhnya; yaitu menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya, menjaga
perut dari apa yang dikehendakinya. Ingatlah kematian dan ujian, dan
barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan alam akhirat, maka ia akan
tinggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang melakukan hal itu, maka
ia memiliki sifat malu yang sesungguhnya kepada Allah.” (HR. Tirmidzi
dalam Kitab Shifatul Qiyamah, hadits nomor 2382)
Ingat! Malu. Bukan pemalu. Pemalu (khajal) adalah penyakit jiwa dan
lemah kepribadian akibat rasa malu yang berlebihan. Sebab, sifat malu
tidaklah menghalangi seorang muslimah untuk tampil menyuarakan
kebenaran. Sifat malu juga tidak menghambat seorang muslimah untuk
belajar dan mencari ilmu. Contohlah Ummu Sulaim Al-Anshariyah.
Dari Zainab binti Abi Salamah, dari Ummu Salamah Ummu Mukminin
berkata, “Suatu ketika Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah, menemui
Rasulullah saw. seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak
malu pada kebenaran. Apakah seorang wanita harus mandi bila bermimpi?’
Rasulullah menjawab, ‘Ya, bila ia melihat air (keluar dari kemaluannya
karena mimpi).’” (HR. Bukhari dalam Kitab Ghusl, hadits nomor 273)
Saat ini banyak muslimah yang salah menempatkan rasa malu. Apalagi
situasi pergaulan pria-wanita saat ini begitu ikhtilath (campur baur).
Ketika ada lelaki yang menyentuh atau mengulurkan tangan mengajak
salaman, seorang muslimah dengan ringan menyambutnya. Ketika kita tanya,
mereka menjawab, “Saya malu menolaknya.” Bagaimana jika cara
bersalamannya dengan bentuk cipika-cipiki (cium pipi kanan cium pipi
kiri)? “Ya abis gimana lagi. Ntar dibilang gak gaul. Kan tengsin
(malu)!”
Bahkan ketika dilecehkan oleh tangan-tangan jahil di kendaraan umum,
tidak sedikit muslimah yang diam tak bersuara. Ketika kita tanya kenapa
tidak berteriak atau menghardik lelaki jahil itu, jawabnya, sekali lagi,
saya malu.
Jelas itu penempatan rasa malu yang salah. Tapi, anehnya tidak
sedikit muslimah yang lupa akan rasa malu saat mengenakan rok mini.
Betul kepala ditutupi oleh jilbab kecil, tapi busana ketat yang diapai
menonjolkan lekak-lekut tubuh. Betul mereka berpakaian, tapi hakikatnya
telanjang. Jika dulu underwear adalah busana sangat pribadi, kini
menjadi bagian gaya yang setiap orang bisa lihat tanpa rona merah di
pipi.
Begitulah jika urat malu sudah hilang. “Idza lam tastahyii fashna’
maa syi’ta, bila kamu tidak malu, lakukanlah apa saja yang kamu
inginkan,” begitu kata Rasulullah saw. (HR. Bukhari dalam Kitab
Ahaditsul Anbiya, hadits nomor 3225).
Ada tiga pemahaman atas sabda Rasulullah itu. Pertama, berupa
ancaman. “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Dia Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Fushhdilat: 40).
Kedua, perkataan Nabi itu memberitakan tentang kondisi orang yang
tidak punya malu. Mereka bisa melakukan apa saja karena tidak punya
standar moral. Tidak punya aturan.
Ketiga, hadits ini berisi perintah Rasulullah saw. kepada kita untuk
bersikap wara’. Jadi, kita menangkap makna yang tersirat bahwa
Rasulullah berkata, apa kamu tidak malu melakukannya? Kalau malu,
menghindarlah!
Salman Al-Farisi punya pemahaman lain lagi tentang hadits itu.
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla apabila hendak membinasakan seorang
hamba, maka Ia mencabut darinya rasa malu. Bila rasa malu telah dicabut,
maka engkau tidak akan menemuinya kecuali sebagai orang yang murka dan
dimurkai. Bila engkau tidak menemuinya kecuali sebagai orang yang murka
dan dimurkai, maka dicabutlah pula darinya sifat amanah. Bila sifat
amanah itu dicabut darinya, maka engkau tidak akan menjumpainya selain
sebagai pengkhianat dan dikhianati. Bila engkau tak menemuinya selain
pengkhianat dan dikhianati, maka rahmat Allah akan dicabut darinya. Bila
rahmat itu dicabut darinya, maka engakau tidak akan menemukannya selain
sosok pengutuk dan dikutuk. Bila engkau tidak menemukannya selain
sebagai pengkutuk dan dikutuk, maka dicabutlah darinya ikatan Islam,”
begitu kata Salman. (HR. Ibnu Majah dalam Kitab Fitan, hadits nomor
4044, sanadnya lemah, tapi shahih)
Wanita yang beriman adalah wanita yang memiliki sifat malu. Sifat
malu tampak pada cara dia berbusana. Ia menggunakan busana takwa, yaitu
busana yang menutupi auratnya. Para ulama sepakat bahwa aurat seorang
wanita di hadapan pria adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan
telapak tangan.
Ibnu Katsir berkata, “Pada zaman jahiliyah dahulu, sebagian kaum
wanitanya berjalan di tengah kaum lelaki dengan belahan dada tanpa
penutup. Dan mungkin saja mereka juga memperlihatkan leher, rambut, dan
telinga mereka. Maka Allah memerintahkan wanita muslimah agar menutupi
bagian-bagian tersebut.”
Menundukkan pandangan juga bagian dari rasa malu. Sebab, mata
memiliki sejuta bahasa. Kerlingan, tatapan sendu, dan isyarat lainnya
yang membuat berjuta rasa di dada seorang lelaki. Setiap wanita memiliki
pandangan mata yang setajam anak panah dan setiap lelaki paham akan
pesan yang dimaksud oleh pandangan itu. Karena itu, Allah swt.
memerintahahkan kepada lelaki dan wanita untuk menundukkan sebagaian
pandangan mereka.
Memang realitas kekinian tidak bisa kita pungkiri. Kaum wanita saat
ini beraktivitas di sektor publik, baik sebagai profesional ataupun
aktivis sosial-politik. Ada yang dengan alasan untuk melayani
kepentingan sesama wanita yang fitri. Ada juga yang karena keterpaksaan.
Tidak sedikit wanita harus bekerja karena ia adalah tulang punggung
keluarganya. Sehingga, ikhtilath (bercampur baur dengan lelaki) tidak
bisa terhindari.
Untuk yang satu ini, mari kita kutip pendapat Dr. Yusuf Qaradhawi,
“Saya ingin mengatakan di sini bahwa kata ikhtilath dalam hal hubungan
antara lelaki dan wanita adalah kata diadopsi ke dalam kamus Islam yang
tidak dikenal oleh warisan budaya kita pada sejarah abad-abad
sebelumnya, dan tidak diketahui selain pada masa ini. Mungkin saja ia
berasal dari bahasa asing, hal itu memiliki isyarat yang tidak
menenteramkan hati setiap muslim. Yang lebih cocok mungkin bisa
menggunakan kata liqa’ atau muqabalah –keduanya berarti pertemuan—atau
musyarakah (keterlibatan) seorang lelaki dan wanita, dan sebagainya.
Yang jelas, Islam tidak mengeluarkan aturan atau hukum umum terkait
dengan masalah ini. Namun hanya melihat tujuan adanya aktivitas tersebut
atau maslahat yang mungkin terjadi dan bahaya yang dikhawatirkan,
gambaran yang utuh dengannya, dan syarat-syarat yang harus diperhatikan
di dalamnya.”
Ada adab yang harus ditegakkan kala terjadi muqabalah antara pria dan wanita. Adab-adab itu adalah:
1. Ada pembatasan tempat pertemuan
2. Menjaga pandangan dengan menundukkan sebagian pandangan
3. Tidak berjabat tangan dalam situasi apa pun dengan yang bukan muhrimnya
4. Hindari berdesak-desakan dan lakukan pembedaan tempat bagi lelaki dan wanita
5. Tidak berkhalwat (berduaan dengan lawan jenis)
6. Hindari tempat-tempat yang meragukan dan bisa menimbulkan fitnah
7. Hindari pertemuan yang lama dan sering, sebab bisa melemahkan sifat malu dan menggoyahkan keteguhan jiwa
8. Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan dosa dan keinginan batin untuk melakukan yang haram, ataupun membayangkannya
2. Menjaga pandangan dengan menundukkan sebagian pandangan
3. Tidak berjabat tangan dalam situasi apa pun dengan yang bukan muhrimnya
4. Hindari berdesak-desakan dan lakukan pembedaan tempat bagi lelaki dan wanita
5. Tidak berkhalwat (berduaan dengan lawan jenis)
6. Hindari tempat-tempat yang meragukan dan bisa menimbulkan fitnah
7. Hindari pertemuan yang lama dan sering, sebab bisa melemahkan sifat malu dan menggoyahkan keteguhan jiwa
8. Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan dosa dan keinginan batin untuk melakukan yang haram, ataupun membayangkannya
Khusus bagi wanita, pakailah pakaian yang yang sesuai syariat, tidak
memakai wewangian, batasi diri dalam berbicara dan menatap, serta jaga
kewibawaan dan beraktivitas. Perhatikan gaya bicara. Jangan genit!
Dengan begitu jelaslah bahwa Islam tidak mengekang wanita. Wanita
bisa terlibat dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berpolitik, dan
berbagai aktivitas lainnya. Islam hanya memberi frame dengan adab dan
etika. Sifat malu adalah salah satu frame yang harus dijaga oleh setiap
wanita muslimah yang meyakini bahwa Allah swt. melihat setiap polah dan
desiran hati yang tersimpan dalam dadanya. []
0 komentar:
Posting Komentar